Selasa, 20 September 2011

Kebermaknaan Adaptasi dalam Variasi Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk masayarakat bahasa untuk berkomunikasi menyampaikan ide atau gagasan. Siapakah yang menjadi atau termasuk dalam suatu masyarakat bahasa? Yang termasuk ke dalam suatu masyarakat bahasa adalah mereka yang menggunakan bahasa yang sama. Jadi, kalau disebut masyarakat bahasa Indonesia adalah suatu yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia (Chaer, 2003: 55).
Joshua A. Fishman (dalam Wibowo, 2001:5) menegaskan, berkomunikasi dengan bahasa bukan hanya ditentukan oleh faktor lingustik. Melainkan juga oleh faktor nonlingustik, seperti faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial diantaranya, meliputi status sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi. Sedangkan faktor situasional mencakup sikap pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, masalah apa, dan sebagainya.
Jadi, dari pendapat Fishman dapat disimpulkan bahwa anggota masyarakat suatu bahasa terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berasal dari latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota masyarakat itu ada yang berpendidikan dan ada yamg tidak; ada yang tinggal di kota ada yang tinggal di desa; ada yang dewasa adapula yang anak-anak. Ada yang berprofesi dokter, petani, pegawai kantor, nelayan, dan sebagainya. Oleh karena itu, karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi dan beragam, di mana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain seringkali mempunyai perbedaan yang besar.
Adanya berbagai macam variasi bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita harus beradaptasi dengan bahasa itu di dalam masyarakat. Mungkin saja kita akan menjawab, ikutilah kaidah-kaidah gramatikal, maka pasti bahasa yang digunakan sudah benar. Jawaban itu sungguh keliru, sebab dengan hanya mematuhi kaidah gramatikal saja, bahasa yang kita gunakan mungkin saja tidak berterima di dalam masyarakat. Contohnya kata ganti dalam bahasa Indonesia adalah kamu dalam kenyataan secara sosial kata itu tidak dapat digunakan untuk orang yang dihormati.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi pokok permasalah yang akan kami bahasa dalam makalah ini antara lain
1.      Variasi bahasa.
2.      Kebermaknaan Adaptasi.

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah memberikan pemahaman dasar kepada pembaca mengenai variasi bahasa dan kebermaknaan adaptasi. Dengan tercapainya tujuan tersebut, maka diharapkan para pembaca ketika berbicara dapat beradaptasi dengan variasa bahasa lawan tutur.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Variasi Bahasa
Variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasai atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa. Jadi, variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam (Chaer, 1995:81).
Berikut ini akan dijelaskan variasi-variasi bahasa dari segi, (1) segi penutur dengan berbagai kaitannya, (2) segi pemakaiannya, (3) segi keformalannya, dan (4) segi sarana.

B.     Kebermaknaan Adaptasi
Begitu jauh kita telah membicarakan tentang makna sosial terhadap variasi bahasa yang bergantung pada penelitian berbagai variasi itu, dan semuanya ini merupakan masalah dari ilmu masyarakat bahasa. Salah seorang ahli lingustik yang secara langsung membicarakan hal ini adalah Labov. Labov menyatakan bahwa adakah adaptasi makna terhadap perbedaan ilmu bahasa? Persoalan adaptasi ini dianggapnya menyerupai persoalan yang umum diyatakan oleh ahli biologi yang berusaha mempelajari dialek binatang. Sehingga dalam hal ini Labov menyarangkan bahwa adaptasi makna dialek manusia barangkali secara biologi dapat ditemukan dalam penelitian biologi. Labov memandang masalah ini secara biologi dengan melihat beberapa temuan dalam dialek binatang.
1.      Hipotesis Belilean
Kenyataan bahwa variasi ilmu bahasa bersifat umum dan terdapat di mana-mana menunjukkan bahwa  itu merupakan pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini sejalan dengan hipotesis Bebelian tentang tanggapan adaptasi berbagai bahasa didukung secara kuat oleh penelitian sosial budaya.
2.   Adaptasi Komunitas
a.      Adaptasi Lintas Lokal
Jika keanekaragaman ilmu bahasa adalah semata-mata langkah dalam penyesuaian diri mengapa manusia paling dapat menyesuaikan diri pada semua jenis bahasa, menentang keras pembebanan pada standarnisasi? Ukuran bidang pendidikan pasti mempunyai suatu kesuksesan di dalam menstandarnisasi penulisan tetapi, banyak kekurangan. Di dalam menstandarnisasi pidato, pergerakan politik-bahasa sebagai alat bantu bahasa tidak mempunyai alternatif, mencoba memberantas berbagai dialek regional (bahasa yang minoritas) sudah jarang.
b.      Adaptasi dan Komunitas
Perbedaan lingustik menghambat adaptasi ketika pembicara bertemu pada situasi sosial yang asimetris. Maka ini adalah tantangan adaptasi yang berupa elemen aktif dalam masyarakat. Lingkungan sosial yang pertama pada kehidupan manusia sangat dibatasi. Mulai kelahiran hingga menuju masa remaja. Semua manusia sebagaian besar bergantung kepada keluarga mereka. Mereka seakan mempunyai hubungan yang erat dalam pemeliharaan dan masa pertumbuhan, termasuk pengembangan bahasa, sepanjang yang berhubungan dengan gramatikal dan kemampuan berbahasa, serta tidak dapat dipisahkan dan adanya nilai khas kedaerahan yang disepakati serta ikatan komunitas. Penandaan ini merupakan lambang dari hubungan kekeluargaan pada kelempok dan kekhasan setempat. Berbicara dengan menggunakan dialek setempat adalah adaptasi yang sangat penting.
3.    Dialek-Dialek pada Binatang yang Lebih Kecil
 Para ahli biologi telah lama menyadari tentang perbedaan bunyi-bunyi pada binatang yang lebih kecil. Mereka menamakan perbedaan ini dengan istilah “dialek”, dan kita bisa menggunakan istilah ini di sini tanpa mengenai mereka  sendiri tentang kelayakan penerapan kata yang sama untuk keduanya suara-suara binatang dan bahasa manusia.
            Hampir semua binatang dapat bersuara dengan sangat menyolok. Burung adalah binatang yang mendapat perhatian utama bagi para ahli biologis. Kicauan burung memerlukan penelitian yang sangat mendalam dalam hal dialek binatang, dan mereka akan menyediakan ilustrasi pada bagian ini. Namun begitu, ini tak
berarti bahwa dialek burung tidak mempunyai arti tersendiri dalam dunia binatang dalam hal perbedaan suaranya. Dialek kera bajing (Winter 1969), kera Jepang (Green 1975), siamang (Marshall dan Marshall 1976), beruk (Snowdon, Brown dan Peterson 1982), tamarins (Hodun, Snowdon dan Soini 1981), dan gajah laut (teBoeuf dan Peterson 1969), adalah binatang-binatang antara lain yang telah diteliti.
         Kedua kajian dialek tentang binatang ada hubungannya dengan dialektologi manusia adalah patut dimuliakan. Darwin (1871: 462-3) telah berdalil tentang hubungan sebagai berikut:
         Pendekapan yang sudah mempelajari nyanyian pada suatu spesis yang berbeda, seperti burung kenari yang terlatih di Tyrol mengajar dan meneruskan nyanyian barunya kepada keturunannya. Perbedaan-perbedaan nyanyian yang alami pada spesis yang sama pada daerah yang berbeda yang didiami mungkin pantas dibandingkan, seperti ucapan Barrington “dia1ek-dialek kedaerahan,” dan nyanyian-nyanyian yang bersekutu, meskipun spesis yang berbeda mungkin dibandingkan terhadap bahasa-bahasa pada ras laki-laki yang berbeda.
          Persamaan pada pola-pola yang didistribusikan tentu saja membangkitkan minat, seperti yang saya akan perlihatkan (buktikan) di bawah ini, begitu mirip pada fungsi adaptasi.
a.    Burung Pipit Mahkota Putih Buzzy dan Clear
         Dengan melihat distribusi salah satu kelompok dialek, meskipun tidak secara langsung berhubungan pada poin yang lebih utama tentang fungsi adaptasi, akan membantu mengilustrasikan apa maksud ahli biologi dengan menggunakan dialek nyanyian burung yang sebaik dengan pertunjukan pada beberapa kemiripan yang menyolok dengan distribusi dialek manusia.
         Kumpulan burung pipit mahkota putih di daerah Point Reyes, di Kalifornia Utara, telah diajar begitu baik oleh seorang ahli zoology yang menyebutnya “tikus putih pada dunia ornitologi” (Baptista 1975). Di sana berada, kesemuanya itu, pernyataan yang tidak serius bahwa burung pipit mahkota putih berbeda pada beberapa cara yang signifikan dari beberapa spesis lainnya, atau yang satu menggambarkan beberapa kesimpulan yang berbeda melalui studi dialek chaffinches atau burung jalak.
          Dua dialek burung pipit mahkota putih yang berdekatan di Port Reyes, disebut Buzzy dan Clear (Baker dan Cunningham 1985: 90-1). Ciri-ciri dialek yang menonjol, dan sumber nama, terdapat pada bagian nyanyian yang disebut suku kata kompleks.
            Nyanyian mempunyai empat bagian: pendahuluan, sepasang suku kata kompleks, sejumlah kosa kata sederhana (tidak berpasangan), dan penutup. Meskipun nyanyian-nyanyian itu menunjukkan dalam angka 5.1 dengan jelas berbeda di dalam pendahuluan, perbedaan-perbeclaan ini tidak menentukan, kedua kelompok dialek membolehkan sama tangga nada variasi di dalam pendahuluan. Ini merupakan salah satu cara pada dialek burung pipit yang menyerupai dialek manusia, yang sering memberikan tangga nada variasi yang sama sebagai suatu ciri-ciri daerah. Penting sekali, pada dialek Buzzy, karakteristik suku kata kompleks mempunyai modulasi cepat yang ditunjukkan pada spektogram, disebut “alat penggetar dengungan,” sehingga karakteristik dialek Clear tidak dipunyainya. Di sini lagi ada sebuah kemiripan dengan dialek manusia karena perbedaan-perbedaan ini tidak dikategorikan tetapi kemungkinan alat penggetar dengungan terjadi dalam nyanyian kira-kira 90 % pada burung-burung penyanyi (i.e., Jantan) di daerah Buzzy, dan suku kata yang jelas terjadi di dalam nyanyian-nyanyian kira-kira 90 % pada burung-burung penyanyi di daerah Clear.


b.      Teori Adaptasi Genetika
Teori adaptasi genetika menyatakan bahwa dialek burung bernyanyi digunakan dengan maksud untuk mengenal anggota kelompok minim untuk tujuan perkawinan. Sehingga demikian melampaui batas kecepatan seleksi alam adaptasi fisik untuk tempat tinggal lokal. Burung-burung berkembang dengan cepat dilingkungan yang khusus dengan memiliki karakteristik fisik yang baik sesuai dengan kondisi daerah.
            Teori ini membuat prediksi yang pasti masing-masing kelompok dialek seharusnya menjadi perbedaan genetika, habitat mereka seharusnya berbeda dengan kelompok dialek lainnya, pada betina lebih senang kawin pada kelompok dialek lokal dan dialek nyanyian burung seharusnya dicap lebih awal untuk mencegah cara meniru oleh penyelundup.
            Masalah ini merupakan bukti adaptasi genetika yang masih kurang jelas. Perbedaan genetika pada kelompok dialek bila ditemukan tidak pernah lengkap hanya sebahagian (Baker, 1974),  dan terdapat kasus yang dijelaskan secara lebih sederhana seperti suatu peristiwa sosialisasi. Kesukaan pada betina kawin pada kelompok dialek yang sama adalah jelas dalam sebuah percobaan laboratorium (Baker, 1983), pada ekor betina Bussi yang dirangsang betul-betul menjawab lebih banyak menjawab rekor nyayian Bussi dari pada Clear, dan lebih lemah terhadap dua nyanyian dan habitat yang lebih jauh. Hasil ini dapat menjadi sama-sama baik dalam menafsirkan pilihan untuk sebuah nyanyian yang dikenal yaitu sebagai konsekuensi atas kondisi sosial dengan kata lain, burung-burung yang berkumpul bersama merupakan bagian yang terelakkan yang mempunyi kelompok gen yang sama dan mengembangkan sebuah persaan untuk nyanyian lokal. Jadi, pada situasi masyarakat yang tidak biasa baik permulaan belajar maupun melalui pegangan, ciri khasnya bahwa burung-burung menghabiskan hidupnya dengan jumlah populasi yang lahir dimana mempelajari lebih awal dan tidak dapat diubah untuk mempelajari yang lebih terarah.
c.       Teori Adaptasi Sosial
Pada semua pengamatan tentang kemampuan berbahasa dan nyanyain burung terjadi akibat sosialisasi. Pergaulan tidak menentukan linguistik pada manusia meskipun dalam perkumpulan ada tempat dan jaringan yang lebih kuat, beberapa stigma menggabungkan para anggota yang mengambil perang sebagai suami atau istri pada perkumpulan tersebut. Meskipun dalam wilayah lebih luas terkadang manusia saling mengenal dengan dasar kemampuan berbahasa yang dimiliki dan dari sanalah dapat diketahui beberapa tingkatan sosial.
            Suatu perbedaan yang dominan bagi manusia tidak seperti burung. kehidupan mereka berdasarkan jumlah kelahiran populasinya. kelompok sosial manusia dalam jarak yang jauh pada satu kesatuan antara ujung kutub. Secara sosiaolinguistik, terjadi akibat mobilitas yang tinggi termasuk berbagai aliran berbahasa, perubahan kode, diglosia, akomodasi, tidak seorang pun yang memiliki tekanan dalam sistem komunikasi. Salah satu konsekuensi mobilitas yang tinggi adalah orang memamkai sistem bahasa pada pertemuan sosial dengan sistem yang berbeda. Pertemuan itu bisa menimbulkan suatu resiko mereka dapat menimbulkan kesalahpahaman, keadaan yang memalukan, gangguan atau pemboikotan. Seorang pengamat memberikan suatu alasan dengan pernyataan bahwa perbedaan linguistik dapat menyebabkan sulitnya orang beradaptasi.
            Untuk menghindari sulitnya orang beradaptasi maka, perbedaan lingustik kita harus adaptasikan, dengan kata lain bahwa harus ada kesepadanan antara adaptasi sosial dan adaptasi lingustik. Adaptasi lingustik dapat dimaknai sebagai proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama, sehingga bahasanya lebih serupa, mirip, atau sama satu sama lain. sedangkan  adopsi sosial dimaknai sebagai proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial, yang melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain, sehingga memiki solidaitas budaya yang cukup untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang solider, harmonis diantara mereka.
            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukti adanya adaptasi sosial yang dapat menciptakan tatanan kehidupan yang solider, harmonis dapat ditelusuri melalui adaptasi lingustik yang terjadi diantara komunitas tutur yang berkontak.
            Untuk mencapai suatu adaptasi sosial yang harmonis, maka diperlukan suatu teori yang berkenaan dengan peristiwa konvergensi dan divergensi lingustik yang berhubungan dengan peristiwa adaptasi lingustik itu sendiri. Giles (Mahsun, 2005:330) bersama dengan teman sejawatnya mencoba mengembangkan suatu teori yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya konvergensi dan divergensi lingustik sehingga terjadi perubahan dalam bahasa. Teori tersebut dinamainya dengan teori akomodasi, yaitu teori dalam sosiolingustik yang bertujuan menjelaskan mengapa petutur bahasa tertentu memodifikasi gaya tuturannya menjadi lebih sama atau menjauh dari gaya tutur penutur bahasa lainnya. Matthews (dalam Mahsun, 2005: 1331), mendefenisikan teori akomodasi sebagai cabang dari sosiolingustik yang mengkaji penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan pewicara dalam mengadaptasi tuturannya dalam merespons mitra wicaranya.
            Hymes (dalam Chaer, 2003: 63) seorang pakar linguistik bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:
a)      Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Contohnya percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadinya di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung.
b)      Partisipan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan. Umpamanya, antara Ali murid dengan gurunya pak Ahmad. Percakapan antara Ali dengan pak Ahmad ini tentu berbeda kalau partisipannya bukan Ali dan pak Ahmad, melainkam antara Ali dengan Karim, teman sekelasnya.
c)      Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya seorang guru menerankan pelajaran bahasa indonesia secara menarik. Tetapi hasil yang didapat sebaliknya.
d)     Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan.
e)      Key, yaitu menunujuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan misalnya, pelajaran linguistik dapat diberikan secara santai dan dapat juga denga semangat yang menyala-nyala.
f)       Instrumentalities, yaitu menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.
g)      Norms, yaitu menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
h)      Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori ragam bahasa yang digunakan.
            Kedelapan unsur yang oleh Del hymes diakronimkan menjadi speking itu, dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam berkomunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-faktor siapa lawan atau mitra bicara kita tentang topik apa, situasinya bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa (lisan atau tulisan), dan ragam bahasa apa yang digunakan .
C.    Ketekunan Tidak Standar
            Jika aksen sosial dan regional menyebabkan pembawa kegelisahan atau duka cita mereka, mengapa mereka melanjutkan yang ada? Jika New Yorkers dan Montrealers meremehkan cara mereka bersuara ketika mereka berbahasa. Mengapa mereka tidak berbahasa yang berbeda?walaupun demikian mustahil bagi kebanyakan orang untuk mentransformasi aksen mereka dengan lengkap. Tidak sulit bagi mereka untuk menggunakan variasi standar disamping variasi tidak standar, khususnya model yang lebih berhati-hati. Selama dua atau tiga generasi, jika tekanan bertentangan dengan aksen tidak standar percakapan adalah cukup menyakitkan, ini akan ada suatu pergeseran secara besar-besaran di dalam arah standar.
Tentu ada suatu tendensi yang nampak terhadap standar itu, walaupun mungkin tidak dapat disebut pergeseran secara besar-besaran. Kenyataannya, kita dapat melihat ciri khas dalam bentuk sosial yang terbatas terhadap ujaran pada 12 kelas pekerja yang lebih di atas dan kelas menengah yang lebih rendah, dan lebih nyata dalam ujaran wanita dan pada laki-laki. Pada waktu yang sama, seperti yang kita telah lihat, selalu ada perubahan dan standar yang sedang terjadi juga, dan perkembangan baru yang berlainan dalam aksen bukan standar.
Martabat yang Dilindungi
       Jika ada tekanan sosial yang mengembangkan dialek-dialek standar, dimana harus juga memakai tekanan yang lembut dalam suatu daerah, yang tidak resmi dan dalam ujaran bahasa daerah. Namun demikian, perlu ada kesadaran dalam memakai tekanan itu secara diam-diam dibandingkan didengar orang namun salah, sebab mereka tidak gampang untuk mengetahuinya. Kekuatan tekanan itu memiliki standar bagaikan kristal yang menyilaukan: kelas orang tua menengah mengatakan tentang bahasa yang “baik”, para guru sekolah yang meluruskan letak kesalahan yang dikemukakan oleh siswa, pimpinan redaksi mengeluh dalam menentukan pemakaian kata-kata. Dan mesti ada kesadaran terhadap masyarakat dalam hal menerima standar itu, serta harus menggunakan cara yang bagus, terhadap maksud yang diwawancarai dan kadang-kadang meminta maaf kepada pewawancara dengan cara yang mereka ucapkan, namun masyarakat kadang-kadang marah jika seseorang menemukan suatu kesalahan ejaan pada sesuatu yang mereka tulis.
      Dengan perbedaan, tekanan sosial yang dipelihara di bawah standar tidak mempunyai pengenalan tentang seorang yang mencoba mempengaruhi pembuat aturan. Tak seorang pun mengeluh di depan umum tentang kebenaran yang  sesungguhnya dalam artikel surat kabar, atau tentang keseragaman gaya bahasa (logat) oleh penyair, atau tentang kekejaman dan pengejaan percakapan kita.
“Mengapa tidak semua orang berbicara dengan cara mereka jelas-jelas percaya bahwa mereka bisa?” Tanya Labov (1972:249), dan kemudian ia melontarkan jawaban ini:
        Pertimbangan yang cermat dalam masalah yang sulit ini menggiring kita untuk menempatkan kehidupan ke dalam suatu perlawanan dan norma yang tersembunyi, yang bernilai positif pada bahasa Daerah. Di dalam situasi yang paling resmi di kota besar, seperti dalam suatu wawancara atau suatu tes psikolinguistik, norma ini sangat sulit sekali diperoleh. Golongan menengah dinilai lebih mendominasi dalam konteks bahwa kebanyakan warga tidak dapat menangkap setiap nilai yang bertentangan, bukan masalah seberapa pun beratnya, mereka mungkin dipengaruhi oleh tingkah laku dalam situasi yang lain.










BAB III
KESIMPULAN

Variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Selain itu variasi bahasa ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Kenyataan bahwa variasi ilmu bahasa bersifat umum dan terdapat di mana-mana menunjukkan bahwa  itu merupakan pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini sejalan dengan hipotesis Bebelian tentang tanggapan adaptasi. Untuk menghindari sulitnya orang beradaptasi maka, perbedaan lingustik kita harus adaptasikan, dengan kata lain bahwa harus ada kesepadanan antara adaptasi sosial dan adaptasi lingustik. Adaptasi lingustik dapat dimaknai sebagai proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama, sehingga bahasanya lebih serupa, mirip, atau sama satu sama lain, maka adopsi sosial dimaknai sebagai proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial, yang melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain sehingga tercipta keharmonisan.





DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Lingustik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1993. Sosiolingustik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chamber, J.K. 2001. Sosiolingustic Theory. Massa Chusetts: Blackweel Publichers Inc.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Lingustik. Jakarta: Gramedia.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Lingustik Umum. Yokya: Tiara Wacana.
Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar