Minggu, 16 Oktober 2011

KONSEP MANUSIA DALAM AL QURAN


KONSEP MANUSIA DALAM AL QURAN


Pengantar
Manusia berulang kali diangkat derajatnya di dalam Al Quran, dan berulangkali pula direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan Malaikat, tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukkan alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat, “yang paling rendah dari segala yang rendah (asfala safilin)”.

Gambaran kontrdiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negatif dan positif. Al-Quran memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu Al-Basyar, Al-Insan, dan An-Nas. Penggunaan ketiga istilah itu jelas memiliki makna signifikan.

AL-BASYAR

Dalam Qs. Al Furqon/25:7, “bukankah Rosul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar.” Qs. Al Furqon/25:20, “tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali mereka itu makan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”

Keterjebakan orang-orang kafir – selain karena kecongkakannya – terletak pada pandangannya yang melihat  seorang  Nabi hanya pada sisi biologis. Karena itu, dalam pandangan mereka, ajakan Nabi tidak harus dan tidak mesti dipatuhi, karena mereka beranggapan Nabi itu berasal dari komunitasnya sendiri. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang utusan Allah, misalnya, kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, atau akseptabilitasnya di mata umatnya. Merujuk pada pengalaman nabi-nabi sebelumnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia yang lain, “katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa), aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu (oleh Allah dan diberi mandat untuk menyampaikan dakwah) bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu,” (Qs. Al-Kahfi/18:110) (lihat juga Qs. 41:6). Kelebihan dan letak perbedaan Nabi dari manusia biasa dalam komunitasnya bukan dari aspek biologisnya, tetapi keterutusannya dan penunjukan langsung dari Allah untuk membawa risalah-Nya. Pada sisi inilah Nabi dipandang sebagai “manusia luar biasa.”
      
Beberapa ayat tadi dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk / postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, berjalan-jalan di pasar, bergerak, dll. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk merujuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.


AL INSAN
Kata Al-Insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan menggunakan Al Insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaluddin Rahmat (1994) memberi pengertian luas Al Insan ini pada tiga kategori.

Pertama,  Al Insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dan pemikul amanah.
Kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Kedua konteks di atas merujuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Ketiga, Al Insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia.

Kategori pertama
Menunjuk pada keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan makhluk lain. Keberbedaan dan keistimewaan – dalam hal ini juga berarti keunggulan – manusia itu bisa dijelaskan, sebagai berikut :

Pertama : Al Quran memandang manusia sebagai “makhluk unggulan” atau “puncak penciptaan” Tuhan, keunggulan manusia terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan kualitas “ahsanu taqwim”, sebaik-baik penciptaan (Qs.At Tin/95:5). Manusia  juga disebut sebagai makhluk yang dipilih oleh Tuhan (Qs.Thahaa/20:122) untuk mengemban tugas kekhalifaan di muka bumi (Qs.AlBaqarah/2:30).

Kedua : Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah (Qs. Al Ahzab/33:72), sebuah beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat mengelolah bumi. Menurut Fazlurrahman (1990), amanah terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya – atau dalam  Al Quran dengan istilah “mengetahui nama-nama semua benda” (al-asma’ kullaha) –, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan Thathaba’I (tt, XVI : 349-51) memaknai amanah lebih sebagai predisposisi (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al wilayah al ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut  sebagai perjanjian primordial atau perenial (‘ahd, mitsaq, ‘isr). Perjanjian itu digambarkan secara metaforis dalam  Qs.Al A’raf/7:172 ketika Tuhan mengambil kesaksian perenial kepada janin yang berada dalam kandungan. Tuhan bertanya, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” “Ya”. Jawab si janin, “kami menjadi saksi”.

Ketiga : karena manusia memikul tugas berat sebagai khalifah dan pemegang amanah yang semua makhluk tidak bersedia, maka manusia dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.

 Salah satu kemampuan itu adalah dibekalinya manusia dengan akal kreatif. Melalui akal kreatifnya amnusia diberi konsesi untuk memiliki, menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan kreatif. Sebab, menurut Al Quran, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, “Dia yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya” (Qs.Al Alaq/96:4-5). “Ia mengajarkan (insan) al bayan” (Qs. Ar Rahman/55:3). Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu berkat nalar kreatifnya. Sebab itu juga, berkali-kali kata al insan dihubungkan dengan kata nadzar. Allah memerintahkan al insan untuk me-nadzar (mengamati, merenungkan, memikirkan, menganalisis) perbuatannya (Qs.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air huja hingga terbentuknya buah-buahan (Qs.80:24-36), dan penciptaannya (Qs.86:5). Dengan kemampuan ini al insan dipakai untuk menunjuk kualitas pemikiran rasional dan kesadaran yang khusus dimiliki manusia. Dalam hubungan inilah, setelah Allah mengingatkan sifat al insan yang labil dan cenderung lupa diri, Dia berfirman :”Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda kami di alam dan diri mereka sendiri supaya jelas baginya bahwa itu al Haq “. (Qs. Fushilat:3).

Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (Qs.75:3, 36, dan Qs. 50:16) untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik (Qs.29:8, Qs.31:14, Qs.46:15), karena setiap amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan setimpal (Qs.53:39). Dalam rangka itu manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan (Qs.17:53, Qs.59:16) dan ditentukan nasibnya di hari kiamat (Qs.75:10, 13, 14, Qs.79:35, Qs.80:17, Qs.89:23), sebagai bentuk pertanggung jawaban.
  
Keempat : dalam mengabdi kepada Allah manusia (al insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan an kondisi psikologisnya. Jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup akan cenderung sombong, takabur dan musyrik (Qs.10:12, Qs.11:9, Qs.17:67, 83, Qs.39:8, 49, Qs.41:49, 51, Qs.42:48, Qs. 89:15).

Pada kategori kedua, kata al insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut Al Quran, manusia itu cenderung berbuat dzalim dan kafir (Qs.14:34, Qs.22:66, Qs.43:15), tergesa-gesa (Qs.17:11, Qs.21:37), bakhil (Qs.17:100), bodoh (Qs.33:72), banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun (Qs.16:4, Qs. 18:54, Qs.36:77), resah, gelisah dan enggan membantu orang lain (Qs.70:19-21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (Qs.84:6, Qs.90:4), ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan (Qs.100:6), suka berbuat dosa (Qs.96:6, Qs.75:5), dan meragukan hari akhirat (Qs.19:66).

Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, al insan menjadi makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang  saling   bertentangan : tarik   menarik  antara   mengikuti   fitrah    (memikul  amanah danmenjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan sangat menarik pada kategori ketiga.
 Proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep al insan dan basyar sekaligus. Sebagai al insan, manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah, tanah (Qs.15:26, Qs.23:12, Qs.32:7, Qs. 55:14). Demikian pula basyar berasal dari tanah, tanah liat kering (Qs.15:28, Qs.38:71, Qs.30:20) dan air (Qs.25:54). Sementara di ayat lain manusia disempurnakan kejadiannya dengnan ditiupkannya ruh Allah ke dalam tubuhnya (Qs.15:29, Qs.38:72).

Ali Syariati (1982, 1993) menafsirkan “tanah liat” (lumpur) dalam penciptaan manusia sebagai simbol kerendahan dan kenistaan, sedangkan ruh Allah adalah simbol kesucian dan kemuliaan tertinggi. Jadi, kejadian manusia adalah gabungan dua anasir yang bertentangan antara lumpur dan ruh  Allah, atau secara simbolik menggambarkan karakteristik basyari dan insani. Yang pertama unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Dalam bahasa Yusuf Qardhawi, sebagaimana dikutip Jalaludin Rahmat (1991), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al thin wa nafkhat al ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda), terdiri atas sifat material dan spiritual (ruhani). Sifat materialnya akan cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, sifat-sifat kebinatangan, kekerasan, kenistaan, agresifitas, stagnan dan immobilitas. Sedangkan unsur ruhani (ruh Allah) akan mengarahkan dirinya menaik ke puncak setinggi-tingginya, yakni kepada Allah dan ruh Allah. Satu hal yang menarik, bahwa kedua unsur ini harus berada dalam keseimbangan, “tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”.

AN NAS
Konsep an Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti al nas ini paling banyak disebut Al Quran (240 kali). Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al Quran tidak pernah melakukan generalisasi.

Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkna dalam dua hal :
Pertama
Banyak ayat yang menunjukkan kelompokelompok sosial dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al nas (dan di antara manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan petunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya tidak beriman (Qs.2:8), yang mengambil sekutu-sekutu selain Allah (Qs.2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (Qs.2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia padahal memusuhi kebenaran (Qs.2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (Qs.22:3, 8, Qs.31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (Qs.22:11, Qs.29:10) (Rahmat : 79).

Kedua
Pengelompokan manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran al nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Al Quran bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu (Qs.7:187, Qs.12:21, Qs.28:68, Qs.30:6,30, Qs.45:26, Qs.34:28, 36, Qs.40:57), tidak bersyukur (Qs.2:243, Qs.12:38, Qs.40:61), tidak beriman (Qs.11:17, Qs.12:103, Qs,13:1), fasiq (Qs.5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (Qs.10:92), kafir (Qs.17:89, Qs.25:50), dan kebanyakan harus menanggung adzab (Qs.22:18). Ayat-ayat di atas dipertegas dengan ayat-ayat lain uang menunjukkan betapa sedikitnya (qolil) kelompok manusia yang beriman (Qs.2:88, Qs.4:46, 66, 155, Qs.38:24), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (Qs.7:3, Qs.18:22, Qs.27:62, Qs.40:58, Qs.69:42), yang mau bersyukur atas nikmat Allah (Qs.7:10, Qs.23:78, Qs.32:9, Qs.34:13, Qs.67:23), dan – sebagian kelompok sosial lain – selamat dari azab Allah (Qs.11:116), dan tidak bisa diperdayakan syetan (Qs.4:83). Kedua kelompok tersebut dapat disimpulkan dalam ayat berikut : “Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Qs.6:116).

Dari uraian di atas, tampak  Al Quran memandang manusia dari serbadimensi, sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan erat dengan unsur material yang dilambangkan dengan unsur tanah. Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk kepada “takdir” Allah di alam semesta. Sama taatnya dengan matahari, gunung, hewan dan tumbuhan. Ia tumbuh dan berkembang akhirnya mati. Dalam keadaan ini manusia dengnan sendirinya musayyar (menerima apa adanya, nrimo ing pandhum, tidak punya pilihan). Akan tetapi, manusia sebagai al insan dan al nas bertalian dengan hembusan ruh Tuhan. Keduanya tetap dikenakan aturan-aturan (sunnatullah), tetapi ia diberikan kebebasan dan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri dari hukum itu. Di titik ini manusia menjasi makhluk yang mukhayaar (punya kebebasan dan pilihan alternatif). Ia bisa terjerembab ke lembah nista, tetapi ia bisa melakukan pendakian spiritual luar biasa, menyerap sifat-sifat rabbaniyah – menurut ungkapan Ibn’Arabi – seperti sama’, basyar, kalam, qadar, rahman, malik,ghoffar, alim, dsb. Ia mengemban wilayah ilahiyah seperti kata Thabathaba’i. karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab.

Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut Al Quran, kewajiban manusia adalah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syariat yang dirancang sesuai amanah. Al Quran tidak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu.              
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia berbeda dan membedakannya dengan makhluk lain, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Buah dari keduanya adalah ‘amal shalih. Di kedua aspek ini hakikat kemanusiaan sesungguhnya. Karena menurut Al Quran sedikit manusia yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut Al Quran, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu”. (Qs.Al Mujadalah/58:11).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar