Minggu, 16 Oktober 2011

KONSEP MANUSIA DALAM AL QURAN


KONSEP MANUSIA DALAM AL QURAN


Pengantar
Manusia berulang kali diangkat derajatnya di dalam Al Quran, dan berulangkali pula direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan Malaikat, tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukkan alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat, “yang paling rendah dari segala yang rendah (asfala safilin)”.

Gambaran kontrdiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negatif dan positif. Al-Quran memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu Al-Basyar, Al-Insan, dan An-Nas. Penggunaan ketiga istilah itu jelas memiliki makna signifikan.

AL-BASYAR

Dalam Qs. Al Furqon/25:7, “bukankah Rosul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar.” Qs. Al Furqon/25:20, “tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali mereka itu makan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”

Keterjebakan orang-orang kafir – selain karena kecongkakannya – terletak pada pandangannya yang melihat  seorang  Nabi hanya pada sisi biologis. Karena itu, dalam pandangan mereka, ajakan Nabi tidak harus dan tidak mesti dipatuhi, karena mereka beranggapan Nabi itu berasal dari komunitasnya sendiri. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang utusan Allah, misalnya, kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, atau akseptabilitasnya di mata umatnya. Merujuk pada pengalaman nabi-nabi sebelumnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia yang lain, “katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa), aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu (oleh Allah dan diberi mandat untuk menyampaikan dakwah) bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu,” (Qs. Al-Kahfi/18:110) (lihat juga Qs. 41:6). Kelebihan dan letak perbedaan Nabi dari manusia biasa dalam komunitasnya bukan dari aspek biologisnya, tetapi keterutusannya dan penunjukan langsung dari Allah untuk membawa risalah-Nya. Pada sisi inilah Nabi dipandang sebagai “manusia luar biasa.”
      
Beberapa ayat tadi dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk / postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, berjalan-jalan di pasar, bergerak, dll. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk merujuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.


AL INSAN
Kata Al-Insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan menggunakan Al Insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaluddin Rahmat (1994) memberi pengertian luas Al Insan ini pada tiga kategori.

Pertama,  Al Insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dan pemikul amanah.
Kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Kedua konteks di atas merujuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Ketiga, Al Insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia.

Kategori pertama
Menunjuk pada keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan makhluk lain. Keberbedaan dan keistimewaan – dalam hal ini juga berarti keunggulan – manusia itu bisa dijelaskan, sebagai berikut :

Pertama : Al Quran memandang manusia sebagai “makhluk unggulan” atau “puncak penciptaan” Tuhan, keunggulan manusia terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan kualitas “ahsanu taqwim”, sebaik-baik penciptaan (Qs.At Tin/95:5). Manusia  juga disebut sebagai makhluk yang dipilih oleh Tuhan (Qs.Thahaa/20:122) untuk mengemban tugas kekhalifaan di muka bumi (Qs.AlBaqarah/2:30).

Kedua : Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah (Qs. Al Ahzab/33:72), sebuah beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat mengelolah bumi. Menurut Fazlurrahman (1990), amanah terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya – atau dalam  Al Quran dengan istilah “mengetahui nama-nama semua benda” (al-asma’ kullaha) –, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan Thathaba’I (tt, XVI : 349-51) memaknai amanah lebih sebagai predisposisi (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al wilayah al ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut  sebagai perjanjian primordial atau perenial (‘ahd, mitsaq, ‘isr). Perjanjian itu digambarkan secara metaforis dalam  Qs.Al A’raf/7:172 ketika Tuhan mengambil kesaksian perenial kepada janin yang berada dalam kandungan. Tuhan bertanya, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” “Ya”. Jawab si janin, “kami menjadi saksi”.

Ketiga : karena manusia memikul tugas berat sebagai khalifah dan pemegang amanah yang semua makhluk tidak bersedia, maka manusia dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.

 Salah satu kemampuan itu adalah dibekalinya manusia dengan akal kreatif. Melalui akal kreatifnya amnusia diberi konsesi untuk memiliki, menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan kreatif. Sebab, menurut Al Quran, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, “Dia yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya” (Qs.Al Alaq/96:4-5). “Ia mengajarkan (insan) al bayan” (Qs. Ar Rahman/55:3). Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu berkat nalar kreatifnya. Sebab itu juga, berkali-kali kata al insan dihubungkan dengan kata nadzar. Allah memerintahkan al insan untuk me-nadzar (mengamati, merenungkan, memikirkan, menganalisis) perbuatannya (Qs.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air huja hingga terbentuknya buah-buahan (Qs.80:24-36), dan penciptaannya (Qs.86:5). Dengan kemampuan ini al insan dipakai untuk menunjuk kualitas pemikiran rasional dan kesadaran yang khusus dimiliki manusia. Dalam hubungan inilah, setelah Allah mengingatkan sifat al insan yang labil dan cenderung lupa diri, Dia berfirman :”Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda kami di alam dan diri mereka sendiri supaya jelas baginya bahwa itu al Haq “. (Qs. Fushilat:3).

Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (Qs.75:3, 36, dan Qs. 50:16) untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik (Qs.29:8, Qs.31:14, Qs.46:15), karena setiap amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan setimpal (Qs.53:39). Dalam rangka itu manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan (Qs.17:53, Qs.59:16) dan ditentukan nasibnya di hari kiamat (Qs.75:10, 13, 14, Qs.79:35, Qs.80:17, Qs.89:23), sebagai bentuk pertanggung jawaban.
  
Keempat : dalam mengabdi kepada Allah manusia (al insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan an kondisi psikologisnya. Jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup akan cenderung sombong, takabur dan musyrik (Qs.10:12, Qs.11:9, Qs.17:67, 83, Qs.39:8, 49, Qs.41:49, 51, Qs.42:48, Qs. 89:15).

Pada kategori kedua, kata al insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut Al Quran, manusia itu cenderung berbuat dzalim dan kafir (Qs.14:34, Qs.22:66, Qs.43:15), tergesa-gesa (Qs.17:11, Qs.21:37), bakhil (Qs.17:100), bodoh (Qs.33:72), banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun (Qs.16:4, Qs. 18:54, Qs.36:77), resah, gelisah dan enggan membantu orang lain (Qs.70:19-21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (Qs.84:6, Qs.90:4), ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan (Qs.100:6), suka berbuat dosa (Qs.96:6, Qs.75:5), dan meragukan hari akhirat (Qs.19:66).

Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, al insan menjadi makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang  saling   bertentangan : tarik   menarik  antara   mengikuti   fitrah    (memikul  amanah danmenjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan sangat menarik pada kategori ketiga.
 Proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep al insan dan basyar sekaligus. Sebagai al insan, manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah, tanah (Qs.15:26, Qs.23:12, Qs.32:7, Qs. 55:14). Demikian pula basyar berasal dari tanah, tanah liat kering (Qs.15:28, Qs.38:71, Qs.30:20) dan air (Qs.25:54). Sementara di ayat lain manusia disempurnakan kejadiannya dengnan ditiupkannya ruh Allah ke dalam tubuhnya (Qs.15:29, Qs.38:72).

Ali Syariati (1982, 1993) menafsirkan “tanah liat” (lumpur) dalam penciptaan manusia sebagai simbol kerendahan dan kenistaan, sedangkan ruh Allah adalah simbol kesucian dan kemuliaan tertinggi. Jadi, kejadian manusia adalah gabungan dua anasir yang bertentangan antara lumpur dan ruh  Allah, atau secara simbolik menggambarkan karakteristik basyari dan insani. Yang pertama unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Dalam bahasa Yusuf Qardhawi, sebagaimana dikutip Jalaludin Rahmat (1991), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al thin wa nafkhat al ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda), terdiri atas sifat material dan spiritual (ruhani). Sifat materialnya akan cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, sifat-sifat kebinatangan, kekerasan, kenistaan, agresifitas, stagnan dan immobilitas. Sedangkan unsur ruhani (ruh Allah) akan mengarahkan dirinya menaik ke puncak setinggi-tingginya, yakni kepada Allah dan ruh Allah. Satu hal yang menarik, bahwa kedua unsur ini harus berada dalam keseimbangan, “tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”.

AN NAS
Konsep an Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti al nas ini paling banyak disebut Al Quran (240 kali). Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al Quran tidak pernah melakukan generalisasi.

Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkna dalam dua hal :
Pertama
Banyak ayat yang menunjukkan kelompokelompok sosial dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al nas (dan di antara manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan petunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya tidak beriman (Qs.2:8), yang mengambil sekutu-sekutu selain Allah (Qs.2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (Qs.2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia padahal memusuhi kebenaran (Qs.2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (Qs.22:3, 8, Qs.31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (Qs.22:11, Qs.29:10) (Rahmat : 79).

Kedua
Pengelompokan manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran al nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Al Quran bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu (Qs.7:187, Qs.12:21, Qs.28:68, Qs.30:6,30, Qs.45:26, Qs.34:28, 36, Qs.40:57), tidak bersyukur (Qs.2:243, Qs.12:38, Qs.40:61), tidak beriman (Qs.11:17, Qs.12:103, Qs,13:1), fasiq (Qs.5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (Qs.10:92), kafir (Qs.17:89, Qs.25:50), dan kebanyakan harus menanggung adzab (Qs.22:18). Ayat-ayat di atas dipertegas dengan ayat-ayat lain uang menunjukkan betapa sedikitnya (qolil) kelompok manusia yang beriman (Qs.2:88, Qs.4:46, 66, 155, Qs.38:24), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (Qs.7:3, Qs.18:22, Qs.27:62, Qs.40:58, Qs.69:42), yang mau bersyukur atas nikmat Allah (Qs.7:10, Qs.23:78, Qs.32:9, Qs.34:13, Qs.67:23), dan – sebagian kelompok sosial lain – selamat dari azab Allah (Qs.11:116), dan tidak bisa diperdayakan syetan (Qs.4:83). Kedua kelompok tersebut dapat disimpulkan dalam ayat berikut : “Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Qs.6:116).

Dari uraian di atas, tampak  Al Quran memandang manusia dari serbadimensi, sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan erat dengan unsur material yang dilambangkan dengan unsur tanah. Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk kepada “takdir” Allah di alam semesta. Sama taatnya dengan matahari, gunung, hewan dan tumbuhan. Ia tumbuh dan berkembang akhirnya mati. Dalam keadaan ini manusia dengnan sendirinya musayyar (menerima apa adanya, nrimo ing pandhum, tidak punya pilihan). Akan tetapi, manusia sebagai al insan dan al nas bertalian dengan hembusan ruh Tuhan. Keduanya tetap dikenakan aturan-aturan (sunnatullah), tetapi ia diberikan kebebasan dan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri dari hukum itu. Di titik ini manusia menjasi makhluk yang mukhayaar (punya kebebasan dan pilihan alternatif). Ia bisa terjerembab ke lembah nista, tetapi ia bisa melakukan pendakian spiritual luar biasa, menyerap sifat-sifat rabbaniyah – menurut ungkapan Ibn’Arabi – seperti sama’, basyar, kalam, qadar, rahman, malik,ghoffar, alim, dsb. Ia mengemban wilayah ilahiyah seperti kata Thabathaba’i. karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab.

Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut Al Quran, kewajiban manusia adalah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syariat yang dirancang sesuai amanah. Al Quran tidak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu.              
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia berbeda dan membedakannya dengan makhluk lain, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Buah dari keduanya adalah ‘amal shalih. Di kedua aspek ini hakikat kemanusiaan sesungguhnya. Karena menurut Al Quran sedikit manusia yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut Al Quran, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu”. (Qs.Al Mujadalah/58:11).

Perempuan dan Pendidikan


Perempuan dan Pendidikan

Allah Yang Mahakuasa berfirman, “Hai manusia, patuhlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam) dan darinya Dia diptakan istri-istrinya (Hawa), dan dari mereka Dia ciptakan laki-laki dan perempuan.” (An-Nisa: 1).

Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad saw, manusia terbaik yang juga menyatakan kemuliaan perempuan melalui sabdanya, “Perempuan adalah pasangan laki-laki.”. Nabi Muhammad saw menghargai mereka dan menempatkan posisi mereka di dalam masyarakat, sehingga menghancurkan benteng kejahilan dari fanatisme kesukuan dan tradisi zaman pra-Islam.
Ini hanya persoalan waktu dan perempuan Muslim telah menjadi fokus dari berbagai gerakan intelektual controversial yang tujuannya adalah untuk membuat mereka ragu terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mereka pegang dan mempertanyakan hak-hak serta kewajiban mereka. Karena diberi informasi yang salah dan membingungkan, banyak perempuan Muslim tidak mampu membedakan antara kebenaran dan kepalsuan dan antara yang hina dan yang mulia. Akibatnya mereka menyimpang dari jalan Tuhan yang lurus.
Perempuan dalam Peradaban Kuno
Kondisi perempuan Cina pada masa itu dianggap hina. Dihilangkan pendidikannya, dicabut semua hak dan kebebasannya, tetap mematuhi kaum laki-laki dan mengabdi kepada keluarganya. Dia hanya memiliki apa yang diberikan laki-laki dan mengerjakan apa yang disuruhnya. Dia tetap membisu, dilecehkan dan putus asa.
Kondisi perempuan India, Perempuan India menganggap suaminya sebagai Tuhan. Perempuan India tidak memiliki hak dan pengelolaan keuangan dan masyarakat, serta didzalimi dan dihinakan selama hidupnya.
Kondisi perempuan Babilonia justru diizinkan berhubungan seks pra-nikah tetapi sangat keras dalam hal menjaga kesetiaan istri terhadap suaminya.
Kondisi Perempuan dalam agama Yahudi sangat hina, kaum Yahudi lebih menyukai anak laki-laki dan menganggap perempuan memang kotor, mereka menaggap kaum perempuan sebagai sumber dosa dan cabul serta busuk. Tidak jauh berbeda dengan agama Kristen, agama Kristen memberikan sedikit perhatian terhadap isu-isu tentang perempuan. Agama Kristen menganggap perempuan sebagai sumber kejahatan. “Mereka percaya bahwa setiap perempuan bersalah melakukan dosa asal dan dia bertanggungjawab atas pengusiran Adam dari surga. Kisah Adam dan Hawa adalah penyebab utama penindasan perempuan dalam agama Kristen.
Begitulah sekilas tentang kondisi kaum perempuan dalam agama Yahudi dan Kristen, sebagai akibat dari berbadai penyimpangan nyata dari kebenaran. Kedua dogma tersebut menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah dan hina, dengan mengistimewakan kaum laki-laki dengan segala hormat. Seorang perempuan tidak memiliki syarat keagamaan yang diperlukan ataupun hak-hak sipil, namun ia memiliki banyak kewajiban dan diharuskan tunduk pada otoritas mutlak kaum laki-laki.
Islam hadir dengan memberikan hak-hak penuh kaum perempuan yang dinyatakan dan ditetapkan melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas dan terperinci. Islam melarang pembunuhan bayi perempuan, memberikan garis-garis pedoman perawatannya untuk melindungi hidup mereka sepanjang hidupnya dan memberikan mereka cinta dan kasih sayang.
Hak untuk Mencari Ilmu Pengetahuan
Pendidikan mencakup setiap perubahan pada kecenderungan, watak, dan akhlak kita yang secara tidak langsung dilengkapi oleh factor-faktor lain; seperti norma-norma syariat, atau norma-norma sipil, system pemerintahan, pola-pola kehidupan, tradisi-tradisi masyarakat, dan berbagai macam lingkungan.
Di dalam Islam, ilmu pengetahuan keagamaan itu wajib hukumnya untuk setiap Muslim laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu ilmu pengetahuan, secara umum sangat dijunjung tinggi dan dihormati dalam Islam. Maka tidak heran kalau para ulama diberi penghargaan yang tinggi dan dipuji-puji di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Penghormatan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap mereka yang memilikinya nampak jelas dalam ayat berikut ini. Allah swt berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Allah swt juga mengatakan tentang keunggulan para ulama dan superioritas mereka atas manusia pada umumnya. Allah swt berfirman:
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yan berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia. Dan begitu pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Dialah yang menegakkan keadilan, Tuhan yang Esa, yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Ayat-ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasul saw juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan merantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Kata pertama yang diwahyukan dan diucapkan oleh malaikat Jibril adalah ‘bacalah’. Membaca adalah kunci menuju ilmu pengetahuan dank arena tulisan melengkapi bacaan, maka Allah swt menyoroti perbuatan ini dengan mengatakan, “Mengajar dengan kalam.”
Kalam (pena) dari dulu hingga sekarang tetap merupakan alat yang paling berguna dan digunakan untuk menyampaikan dan memelihara ilmu pengetahuan, dan telah meninggalkan dampaknya pada umat manusia selama berabad-abad. Dengan membaca dan menulis, seseorang manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini diajarkan oleh Tuhannya karena Dia-lah yang telah memberkahi kita dengan beebrapa kemampuan intelektual dan pancaindera yang membuat kita dapat menerima, mempelajari dan memahami informasi.
Para ulama telah sepakat bahwa semua firman yang diturunkan Allah berlaku baik laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama. Yakni wajib shalat, puasa, membayar zakat, menunaikan ibadah haji dan memperbaiki imannya, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat, dan berlomba-lomba untuk mengerjakan amal saleh.
Suatu kenyataan yang tidak bias dipungkiri bahwa Islam meliputi ibadah, akhlak, politik, sosiologi, ekonomi dan hokum yang mengurusi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Semua pengetahuan itu tidak dapat diperoleh secara otomatis, melainkan melalui proses pengkajian, belajar dan mengajar. Islam sesungguhnya agama yang luas, beragam, komperhenship dan terinci. Selain itu kaum perempuan mewakili separuh masyarakat. Konsekuensinya, mereka bersama-sama dengan kaum laki-laki memikul beban untuk membangun masyarakat ini.
Pendidikan perempuan sangat vital bagi masyarakat kita karena perempuan adalah orang yang melahirkan laki-laki dan perempuan masa datang. Perempuan adalah sekolah dasar bagi anak-anak kita. Darinya mereka belajar tentang fondasi kemanusiaan dan basisnpendidikan moral. Dialah orang yang melahirkan anggota masyarakat yang baik maupun yang buruk.
Ibrahim Hafiz menyatakan
“Bagi dia yang dapat mengajari anak-anak gadis kita,
Aku berkata: kebodohan mereka, di Timur adalah sebab kegagalan kita.
Seorang ibu adalah taman kanak-kanak bagi anak-anaknya, andaikan dipersiapkan dengan baik, maka sebuah bangsa dari keturunan yang baik akan kita miliki. Seorang ibu adalah taman. Andai diairi, maka ia akan tumbuh memutih. Aku tidak mengatakan, biarkan kaum perempuan, tak berkerudung, berkeliaran di tengah kaum laki-laki. Ajari anak-anak gadis kita kesalehan; dalam segala keadaan, itulah kebajikan yang kokoh.




Penyair terkenal al-Rasafi juga berkata:
Moral adalah benih, untuk disemai dan disirami dengan tangan-tangan yang mulia. Moral disaring dengan baik di pangkuan seorang ibu.
Pangkuan seorang ibu adalah sekolah
Mendidik anak laki-laki dan perempuan

Keunggulan Pengetahuan bagi Perempuan
  1. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang banyak akan menjadi sumber ilmu utama bagi anak usia dini
  2. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang banyak akan memberikan sumbangan pemikiran yang lebih sensitif dan lebih peka
  3. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang banyak tidak akan mudah diperlakukan tidak senonoh oleh keadaan dan orang lain
  4. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang banyak akan menjadi idaman bagi suaminya sebagai partner hidup
  5. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang banyak akan membanggakan orangtua, dll.


Daftar Pustaka

Al-Qarni, Aidh Bin Abdullah. 2005. Tips Menjadi Wanita Paling Bahagia di Dunia. Jakarta: Magfirah Pustaka.
Az-Zindani, Abdul Madjid. 2003. Hak-hak Politik Wanita Dalam Islam. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Nasif, Fatimah Umar. 2001. Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender sesuai Tuntutan Islam. Jakarta: Cendekia.